Ketua dan petinggi Demokrat di komite DPR Amerika Serikat (AS) tentang China baru-baru ini mengirim surat kepada CEO Alphabet, induk perusahaan Google, dan Apple. Surat tersebut meminta kedua raksasa teknologi itu untuk bersiap menghapus TikTok dari toko aplikasinya di Amerika Serikat mulai 19 Januari 2025. Langkah ini merupakan konsekuensi dari keputusan hukum yang diambil terkait keamanan nasional.
Pekan lalu, pengadilan banding federal AS menegaskan undang-undang yang mewajibkan ByteDance, perusahaan induk TikTok yang berbasis di China, untuk mendivestasikan operasi TikTok di AS. Jika tidak, aplikasi populer tersebut akan menghadapi larangan total di negara itu. Hal ini dipandang sebagai langkah tegas Kongres AS untuk melindungi keamanan nasional dan privasi pengguna TikTok dari potensi pengawasan oleh Partai Komunis China.
“Kongres telah bertindak tegas untuk mempertahankan keamanan nasional Amerika Serikat dan melindungi pengguna TikTok di Amerika dari Partai Komunis China. Kami mendesak TikTok untuk segera melaksanakan divestasi yang memenuhi syarat,” kata para anggota parlemen dalam pernyataan mereka yang dikutip oleh Reuters.
Hingga kini, baik Apple, Alphabet, maupun TikTok belum memberikan komentar resmi terkait permintaan ini. Namun, pada 9 Desember 2024, ByteDance dan TikTok mengajukan upaya darurat ke Mahkamah Agung AS. Mereka berharap undang-undang tersebut dapat ditangguhkan sementara hingga ada peninjauan lebih lanjut.
Sementara itu, Departemen Kehakiman AS (DOJ) memberikan klarifikasi penting terkait dampak larangan tersebut. DOJ mengatakan bahwa meskipun larangan mulai berlaku pada 19 Januari, pengguna TikTok yang sudah mengunduh aplikasi tidak akan langsung terdampak. Namun, layanan dukungan untuk aplikasi itu akan dihentikan, yang pada akhirnya membuat TikTok menjadi tidak dapat digunakan di AS.
TikTok, platform video pendek yang sangat populer, telah menjadi subjek kontroversi di AS selama beberapa tahun terakhir. Pemerintah AS mengkhawatirkan potensi pengumpulan data pengguna yang dapat diakses oleh pemerintah China. Meskipun TikTok telah berulang kali menyangkal tuduhan ini, kekhawatiran tersebut tetap menjadi alasan utama tekanan terhadap ByteDance untuk mendivestasikan TikTok.
ByteDance berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga akan berdampak besar pada jutaan pengguna di AS. Dalam pernyataan resmi pada 12 Desember 2024, TikTok menyebut bahwa jika aplikasi mereka hilang dari toko aplikasi pada 19 Januari, maka “setengah dari populasi AS yang belum menggunakan aplikasi ini tidak akan dapat mengunduhnya.”
Jika TikTok benar-benar dihapus dari toko aplikasi seperti App Store dan Google Play, pengguna yang sudah mengunduh aplikasi masih dapat terus menggunakannya untuk sementara waktu. Namun, tanpa adanya pembaruan atau dukungan teknis, aplikasi tersebut akan perlahan menjadi tidak stabil dan akhirnya tidak dapat digunakan sama sekali. DOJ memperingatkan bahwa penghentian layanan dukungan ini akan “melumpuhkan platform di Amerika Serikat dan membuatnya sama sekali tidak dapat digunakan.”
Di tengah perdebatan ini, Presiden terpilih Donald Trump menyatakan bahwa ia akan mencoba mencegah pelarangan TikTok. Namun, banyak pihak meragukan kemampuan Trump untuk membalikkan keputusan yang telah diambil melalui jalur hukum. Senator Republik Josh Hawley menegaskan bahwa undang-undang tersebut jelas dan tidak memberikan ruang gerak bagi ByteDance.
“Masalah utama dari undang-undang ini adalah bahwa TikTok tunduk pada pengawasan Beijing,” kata Hawley dalam sebuah wawancara. “Itulah masalahnya.”
Larangan terhadap TikTok di AS bukan hanya sekadar isu teknologi atau aplikasi media sosial. Ini mencerminkan ketegangan geopolitik yang semakin meningkat antara AS dan China. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan teknologi besar asal China, termasuk Huawei dan ZTE, telah menghadapi pembatasan serupa di AS. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah AS semakin waspada terhadap pengaruh perusahaan teknologi China di pasar domestiknya.
Bagi pengguna setia TikTok, perkembangan ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Banyak kreator konten yang telah membangun karier mereka di platform ini harus mulai mencari alternatif lain jika larangan tersebut benar-benar diterapkan. Sebagian pengguna mungkin akan beralih ke platform serupa seperti Instagram Reels atau YouTube Shorts, yang telah mencoba mengadopsi format video pendek ala TikTok.
Namun, jika ByteDance berhasil memenuhi tuntutan divestasi, ada kemungkinan TikTok tetap dapat beroperasi di AS dengan struktur kepemilikan yang berbeda. Hal ini akan menjadi solusi terbaik bagi semua pihak, baik pemerintah, pengguna, maupun perusahaan itu sendiri.
Ketegangan antara pemerintah AS dan TikTok terus berlanjut, dengan tanggal 19 Januari 2025 menjadi tenggat waktu yang menentukan. Apakah ByteDance akan mampu menyelesaikan proses divestasi tepat waktu, atau apakah TikTok akan benar-benar dilarang di AS? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Yang pasti, perkembangan ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara keamanan nasional dan kebebasan teknologi dalam era digital. Sebagai pengguna, kita hanya bisa menunggu dan bersiap menghadapi perubahan yang mungkin terjadi di lanskap media sosial global.